Poppy dan Warlord Afganistan

 Dari semua janji kebijakan pemerintahan Barack Obama, maka realisasi kebijakan militer AS atas Irak dan Afganistan adalah yang paling ditunggu-tunggu dunia.   Obama telah berjanji untuk menarik pasukan AS dari Irak, sebaliknya akan mengirim tambahan dua brigade (9000 pasukan) sebagai kekuatan tambahan terhadap 36.000 pasukan yang sudah ada di Afganistan.   Kebijakan Obama atas Afganistan adalah kelanjutan serangan balasan untuk menghancurkan jaringan teroris, sejak serangan 11 September 2001.  Sekian lama kekisruhan berlangsung, ternyata tidak banyak masyarakat Indonesia yang memahami fakta tentang situasi di Afganistan, sehingga sering tergiring dalam sentimen yang berbeda.
    Saya teringat saat seluruh siswa Asia Pasific Center for Security Studies (APCSS) Hawaii, terlibat dalam sebuah diskusi tentang kebijakan militer AS di negara yang terancam gagal (failed state) nomor urut sembilan itu, setelah mendengarkan  orasi Kapten Ahmad Sakib Rahimzy (perwira AD Afganistan) mengenai situasi keamanan Afganistan termutakhir.   Saya bertanya, “Kapten Sakib, tahukah anda bahwa saat ini, masyarakat di negara saya sangat bersimpati dengan kondisi negara anda dan menentang keberadaan pasukan multinasional di negara anda, karena itu semacam intervensi. Apa pendapat anda tentang hal itu!”  Sambil tersenyum kecut, perwira muda lulusan Akademi Militer Inggris itu menjawab, “Dengan prespektif apa, masyarakat anda mengatakan  keberadaan pasukan multinasional di negara saya adalah penjajahan.   Justru kami yang sekarang membutuhkan dan mengundang mereka.   Sejak pemerintahan kami yang sah berdiri, negara kami terus tercerai-berai karena kesukuan, para pejuang yang tak mendapat tempat di birokrasi membelot menjadi war lord yang memberontak, bekerja-sama dengan teroris dan mafia untuk melindungi para petani poppy.   Kami tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengatasi itu semua.  Bahkan untuk memberantas pertanian poppy saja, kami kuwalahan.  Kami datang dengan lima truk pasukan, mereka menghadang kami dengan tiga puluh truk pasukan bersenjata otomatis.  Saat ini 93 persen opium dunia dihasilkan dari pertanian poppy di Afganistan, jika pasukan multinasional keluar dan kami berjuang sendiri, maka dalam waktu singkat 99,9 persen opium dunia diproduksi di Afganistan.   Ingat, semakin tinggi produki opium maka semakin tinggi suntikan dana untuk terorisme dunia.   Sayangnya, para pemberontak itu, para war lord yang melindungi pertanian poppy dan Al Qaeda itu, sekarang mendapat simpati dunia sebagai pahlawan muslim…”  Diskusi bertambah ramai karena terungkap peliknya fakta tentang poppy, konflik etnik, konflik kekuasaan dan terorisme, yang tidak banyak diketahui dunia luar.

Ekonomi Perang
 Pohon poppy (opium), sebagai bahan baku pembuatan heroin, adalah salah satu dampak buruk dari lemahnya sistem politik dan ekonomi di Afganistan sejak  tahun 70-an.   Kondisi alam yang tandus dan tidak adanya sistem irigasi yang baik, memaksa rakyat untuk menanam poppy. Hanya dengan menjual produk tanaman ini, rakyat miskin Afganistan mendapatkan uang untuk hidup.   Pada tahun 1978, ketika terjadi kudeta oleh kelompok pro komunis, produksi opium dari Afganistan berkisar 300 metrik ton per tahun, untuk mencukupi kebutuhan lokal, regional, serta beberapa industri obat milik negara-negara barat.   Namun sejak tahun 80-an, area pertanian dan produksi opium Afganistan meningkat tajam, paralel dengan banyaknya kegiatan  pemberontakan, perang sipil, serta keterlibatan teroris dan mafia internasional. 
  Kini, tanaman poppy tidak sekedar berhubungan dengan kemiskinan Afganistan, karena produksinya justru jauh meningkat di daerah selatan yang rawan konflik.   Poppy sudah menjadi sumber ekonomi perang dari masa ke masa.   Pada saat Taliban berkuasa pada tahun 1996-2001 dan menerapkan hukum-hukum Islam dengan keras, pun menggunakan opium sebagai sumber pembiayaan perang.   Konon, Mullah Umar, pemimpin tertinggi Taliban,  menyatakan bahwa menggunakan opium adalah berdosa, namun menjualnya untuk biaya perang tidak bisa disalahkan menurut hukum Islam.   Pernyataan ini sangat kontradiktif, karena dalam kenyataannya, baik menggunakan ataupun menjual opium adalah haram menurut hukum Islam.   Pasca tragedi 11 September 2001, saat Taliban dijatuhkan oleh kelompok aliansi utara yang di dukung oleh AS dan NATO, total produksi opium Afganistan jauh menurun (sama dengan total produksi tahun 1980).   Namun sejak tahun 2002, ketika pemberontakan Taliban dimulai, pertanian poppy merebak lagi, produksi opium Afganistan pun melesat naik hingga kini.  
Saat ini, satu kilogram opium kering dijual dengan harga 86 dollar AS dan dijual dengan harga selangit oleh jaringan warlord, teroris dan mafia. Hasil survey United Nations Office on Drugs and Crime (UN ODC), Government of Afghanistan Ministry of Counternarcotics (MCN), produksi opium Afganistan pada 2007 adalah 8.200 metrik ton atau 93% dari total produksi dunia.  Dibandingkan tahun 2006, produksi naik 34% dan luas tanah pertanian naik 59%.   Jumlah masyarakat yang terlibat dalam pertanian poppy adalah 509.000 orang, meningkat 64% dibandingkan tahun 2005 atau 14.3% dari total penduduk Afganistan.   Ini belum termasuk 500.000-an buruh, penyelundup, warlord, mafia dan lain-lainnya, yang menobatkan Afganistan sebagai narco-terrorist state nomor satu di dunia.  
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran para warlord Taliban dalam melindungi para petani poppy, adalah penyebab semua itu.  Mereka menjadikan poppy sebagai sumber ekonomi perang melawan pemerintah Presiden Hamid Karzai (dari kelompok aliansi utara yang didukung AS).   Tapi hal ini bukanlah aneh, karena saat pemerintahan Taliban berkuasa(1996-2001), kelompok aliansi utara pun mengandalkan hasil penjualan poppy untuk membiayai aksi-aksinya.   Perbedaannya, saat pemerintahan Taliban berkuasa, mereka adalah pendukung jaringan teroris Al Qaeda yang menggerakkan teror melawan AS.  

Tantangan dan Harapan
 Kebijakan militer Obama di Afganistan tidak akan dihadang jalan terjal, jika tidak ada faktor poppy dan para warlord Taliban yang membawahi faksi-faksi militer.   Bangsa Afganistan yang bisa bersatu untuk menghadapi Uni Soviet sebagai kelompok Mujahidin ternyata terpecah-pecah pada masa pasca perang, karena faksi-faksi militer yang tidak dapat saling bekerja-sama.   Afganistan terberai menjadi wilayah-wilayah kecil yang dikangkangi premanisme para warlord.   Pemerintahan Presiden Hamid Karzai berbasis massa minoritas di Afganistan utara, terdiri dari suku Hazara dan suku kecil lain, yaitu Tajik, Uzbek dan Turki.  Kelompok ini menganut aliran Shiite dan Ismaili, menguasai sepuluh persen dari seluruh wilayah Afganistan dan merupakan kelompok anti Taliban.   Sementara kelompok Taliban berasal dari etnis Pasthun, berasal dari kelompok mayoritas yaitu Sunni (walaupun tidak semua etnis Pastun ataupun penganut Sunni setuju dengan kelompok Taliban).  
 Hingga kini, tidak sekalipun intelijen AS mampu membuktikan kekuatan nyata Al Qaeda di Afganistan, walaupun jejaring mereka bertebaran di sekitar pertanian poppy.   Jejaring Al Qaeda akan terlihat jelas, setidaknya setelah para warlord Taliban berucap kesepakatan perdamaian secara permanen dengan pemerintahan Karzai yang sudah berkomitmen untuk memberangus pertanian poppy.   Penambahan kekuatan militer yang direncanakan Obama akan membantu AD Afganistan untuk menghancurkan pertanian poppy, namun hanya untuk sementara waktu.  Sedangkan untuk menghancurkan jaringan Al Qaeda dan pertanian poppy di Afganistan secara permanen, Obama dan pemerintahan Karzai membutuhkan kerjasama Taliban.  Para warlord Taliban bukan Al Qaeda, namun keduanya bekerja-sama mempertahankan pertanian poppy di Afganistan.  Obama pun pasti telah banyak belajar dari kegagalan operasi militer di Irak.    Operasi militer  AS mungkin dapat menghancurkan beberapa jaringan induk Al Qaeda di Afganistan, namun 45.000 pasukan AS tidak mungkin dapat menghancurkan Taliban dengan jalan perang.   Ini sudah dibuktikan saat Uni Soviet yang mengerahkan 100.000 pasukan pun gagal mengendalikan kerasnya alam Afganistan pada periode tahun 1979-1989.   Ia harus menyatukan dan merangkul semua pihak yang bersengketa di Afganistan.
 Bagi bangsa Indonesia, kebijakan militer Obama atas Afganistan, harus disikapi secara bijaksana, karena toh pemerintah Afganistan ternyata membutuhkannya, untuk mengendalikan Taliban yang pro Al Qaeda.  Dalam suatu kesempatan makan siang, Sakib teman saya tiba-tiba mendekat dan membisikkan sesuatu, “My dear friend from Indonesia.   Masalah yang terjadi di Afganistan bukanlah sekedar masalah agama.  Di sana ada permasalahan perut yang lapar, namun poppy telah secara turun- temurun menjadi jalan pintas untuk membuat mereka kenyang.   Ada juga urusan kekuasaan, bahwa sebagai bangsa pejuang, tenyata saat perang besar mengusir penjajah usai,  cukup sulit untuk menjadikan peran satu kelompok berada di bawah yang lain.   Banyak orang merasa sama-sama berjasa dan berhak mencicipi nikmatnya kekuasaan.  Kini, untuk mendapatkan kekuasaan, orang harus berperang lagi dengan sesamanya dan memberontak, bermodalkan poppy.  Ironisnya, terroris berkedok agama pun ikut berinvestasi poppy di negara saya.  Jadi kawanku, bersimpatilah dengan cara yang benar, dengan ilmu dan wawasan yang benar, betul-betul paham apa yang terjadi di negara saya.  Tidak perlu lagi ada rakyatmu yang rela meledakkan-diri dengan dasar sentimen agama.   Siapa tahu, uang kiriman yang digunakan untuk bom bunuh diri itu, berasal dari bisnis poppy di negara saya. Para teroris yang mengatakan dirinya sebagai mujahhid itu pasti menyesal bila tahu bahwa uang yang dikirimkan kepadanya untuk bunuh diri ternyata dari bisnis narkotika…”

                                                                                                     Mospati,   21 Mei 2009

Tinggalkan komentar